WARTABANJAR.COM, JAKARTA – Apakah Ramadhan tahun ini selama 29 hari atau 30, masih belum bisa diputuskan sebelum melihat hilal.
Hal ini biasa dilakukan oleh Nahdlatul Ulama sejak dulu dalam menetapkan awal bulan dalam tanggalam hijriah, termasuk Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha ditentukan dengan metode rukyatul hilal.
Merujuk Almaghfurlah KH A. Ghazalie Masroeri, bukan berarti NU tidak melakukan hisab. NU juga melakukan metode hisab, tetapi bukan keputusan akhir.
Karena menurut KH Ghazalie Masroeri, metode hisab hanya bersifat prediktif.
“Penentuan awal bulan Hijriyyah yang dipedomani Nahdlatul Ulama (termasuk di dalamnya penentuan awal Ramadhan dan hari raya Idul Fitri/Idul Adha) adalah berdasarkan rukyah hilal sebagai ibadah yang bersifat fardhu kifayah. Merujuk keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama NU dan Muktamar NU sejak 1954 hingga 2021 Miladiyah,” demikian dikutip dari Seputar Penentuan Idul Fitri 1444 H dalam Pandangan Nahdlatul Ulama yang dikeluarkan Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LF PBNU), pada Ahad (16/4/2023).
Baca juga: Waktu yang Baik untuk Mengeluarkan Zakat Fitrah
Ada empat ketentuan yang NU terapkan dalam menggunakan metode rukyatul hilal. Sebagai berikut.
- Jika hilal di bawah ufuk
Jika hilal masih di bawah ufuk atau minus di bawah 0 derajat, maka rukyah tidak lagi berlaku fardu kifayah.
Hal ini mengingat hilal tidak mungkin dapat dilihat karena posisinya berada di bawah ufuk.
Dengan begitu, secara otomatis berlaku istikmal, yaitu bulan sebelumnya digenapkan menjadi 30 hari.