Dia menilai, supermarket lebih fresh lantaran ada restoran maupun produk lain yang terus berevolusi mengikuti tren yang ada.
“Tapi kalau hypermarket sama, main harga terus. Perang harga terus. Itu andalan mereka istilahnya. Jadi nggak membuat sesuatu yang exciting lagi. Dari dulu saya bilang bahwa ritel yang menang itu nanti ritel yang proximity, dekat dengan konsumen,” jelasnya.
Melihat kenyataan tersebut, Yongky meminta para pengelola hipermarket untuk mempelajari apa yang diinginkan para konsumen ke depannya dan mengganti format jadul tersebut.
“Semuanya berevolusi, cuman beberapa format ini saya lihat nggak berevolusi,” ungkapnya.
Adapun, dia menyarankan agar hipermarket memperkecil ukurannya, misalnya dari 10.000 meter persegi, menjadi sekitar 3.000-4.000 meter persegi.
Sebab, ukuran yang besar sudah pasti memakan biaya yang besar pula.
Kedua, untuk non-grocery, dia menyarankan untuk lebih berinovasi sesuai dengan tren yang ada, tidak hanya sekedar ada, lengkap, banyak dan murah. Ketiga, adalah letaknya.
Yongky menyampaikan, hypermarket lebih cocok dibangun di pinggiran kota, bukan di kota besar.
Menurutnya, pinggiran kota dinilai cocok untuk menjalankan bisnis tersebut lantaran banyak kelas menengah yang masih jarang melihat toko besar dan komplit seperti hipermarket.
Sementara, konsumen di kota besar di sebut sudah jenuh melihat hipermarket, apalagi tak ada perubahan signifikan dari hipermarket.
“Pokoknya isitlahnya ngikutin tren deh apa yang dikejar konsumen sekarang, kopi, kue, makanan. Yang di instagram, semua orang Indonesia adalah makanan. Nah itu mesti diadakan, dibikin spesial,” jelasnya. (berbagai sumber)