Ekonom dan Pengamat Energi Beberkan Beban Berat Rakyat Miskin Jika Kompor Gas LPG Dikonversi ke Kompor Listrik

    “Saya kira bisa benar-benar dihitunglah ya dan benar-benar dipastikan juga. Jangan sampai sama-sama memberatkan, baik memberatkan masyarakat maupun memberatkan pemerintah,” imbuhnya.

    Faktor lain yang dinilai Mamit harus menjadi perhatian adalah kendala dari pasokan listrik.

    Pemerintah harus bisa memastikan daerah yang disasar betul-betul yang memiliki pasokan listrik cukup dan terjamin.

    “Jangan sampai listriknya mati. Bayangkan saja, mereka lagi masak, tiba-tiba listriknya mati. Sedangkan mereka tidak punya kompor LPG lagi. Masa mereka harus masak menggunakan kayu? Jadi benar-benar harus diperhatikan,” katanya.

    Sementara, Ekonom Centre of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menekankan jika tujuan konversi ke kompor listrik untuk mengurangi ketergantungan LPG, maka butuh konsistensi.

    “Karena diperkirakan butuh waktu lama adaptasi dan persiapan di tingkat masyarakat,” kata Bhima.

    Setidaknya ada lima faktor yang harus dipertimbangkan pemerintah.

    Pertama, daya listrik yang dibutuhkan untuk kompor listrik relatif besar sementara itu kelompok 450 VA adalah golongan pemakai LPG subsidi terbanyak.

    Dengen gambaran itu, kurang cocok apabila kompor listrik digunakan untuk memasak harian.

    “Kalau dinaikan daya listriknya maka beban tagihan listrik akan naik dan merugikan orang miskin,” katanya.

    Kedua, biaya transisi ke kompor listrik relatif jadi beban baru sebab tidak semua kompor listrik bisa diberi gratis plus alat masak khusus, karena yang disasar hanya 300 ribu orang.

    “Kalau orang miskin disuruh beli kompor listrik sendiri sepertinya hanya menambah beban di tengah naiknya biaya hidup akibat inflasi,” imbuhnya.

    Ketiga, jika pemerintah memang ingin mengurangi ketergantungan bahan bakar fosil, tapi di hulu pembangkit listrik masih dominan batu bara dan BBM, maka ini menjadi tidak sejalan.

    “Jadi sama saja konsumsi listrik naik, maka PLTU yang butuh batu bara semakin tinggi. Beban hanya pindah dari penghematan di hilir jadi kenaikan pembelian batu bara dan BBM impor di hulu pembangkit,” katanya.

    Keempat, pemerintah juga harus mempertimbangkan budaya masyarakat untuk menggunakan kompor listrik butuh waktu lama untuk diubah.

    Baca Juga :   32,88% Kuota Jemaah Haji Khusus Sudah Terisi Dalam 3 Hari Pelunasan Bipih

    Baca Lebih Lengkapnya Instal dari Playstore WartaBanjar.com

    BERITA LAINNYA

    TERBARU HARI INI