Ia pun mencoba tidur setelah melaksanakan shalat ashar, tidurnya tampak terlelap hingga ia baru terbangun saat waktu sudah menginjak separuh malam (dini hari). Setelah terbangun ia langsung bergegas pada pendakwah tadi untuk komplain:
“Engkau pernah berkata kalau tidur setelah ashar mengakibatkan gila atau hilangnya akal. Lihat aku, aku tidur setelah ashar dan aku sama sekali tidak merasa gila” ungkap orang tersebut.
Pendakwah tersebut menjawab dengan senyum dan penuh ketenangan: “Apakah ada perilaku orang gila yang melebihi hal ini. Engkau datang menuju rumah seseorang pada saat dini hari sedangkan orang-orang dalam keadaan tidur?”
Orang yang komplain tersebut diam seketika, ia membenarkan ucapan pendakwah tersebut dengan penuh rasa malu. (Habib Zain bin Smith, Fawaid al-Mukhtarah, hal. 591) Waktu tidur yang tidak dianjurkan ketiga, adalah tidur sebelum melaksanakan shalat isya’. Dalam salah satu hadits shahih dijelaskan:
كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ العِشَاءِ وَالحَدِيثَ بَعْدَهَا البخاري
“Sesungguhnya Rasululullah tidak senang tidur sebelum shalat Isya’ dan berbincang-bincang setelah shalat Isya’” (HR al-Bukhari). Sebab dimakruhkannya tidur sebelum melaksanakan shalat isya’ adalah dikarenakan khawatir akan habisnya waktu isya’ karena tidur terlalu lelap, seperti halnya kebiasaan kebanyakan orang yang tidur di malam hari namun belum melaksanakan shalat isya’.
Alasan demikian seperti yang dijelaskan dalam kitab ‘Umdah al-Qari Syarah Shahih al-Bukhari:
وَأما سَبَب كَرَاهَة النّوم قبلهَا فَلِأَن فِيهِ تعرضا لفَوَات وَقتهَا باستغراق النّوم، وَلِئَلَّا يتساهل النَّاس فِي ذَلِك فيناموا عَن صلَاتهَا جمَاعَة. وَأما كَرَاهَة الحَدِيث بعْدهَا فَلِأَنَّهُ يُؤَدِّي إِلَى السهر، وَيخَاف مِنْهُ غَلَبَة النّوم عَن قيام اللَّيْل وَالذكر فِيهِ، أَو عَن صَلَاة الصُّبْح