Tidak ada Tuan Guru yang pengajiannya diikuti oleh puluhan ribu jemaah kecuali setelah dia “membuktikan” kelayakannya di masyarakat selama bertahun-tahun, mulai pengajian kecil yang nyaris tanpa jemaah hingga dihadiri ribuan orang.
Tuan Guru sejati bukanlah produk karbitan yang serba instan. Ini sebabnya, kepergian seorang Tuan Guru sekelas Guru Zuhdi tidak mudah digantikan. Perlu waktu bagi tunas-tunas baru untuk tumbuh dan berkembang hingga mekar.
Kepergian Guru Zuhdi di Hari Pendidikan seolah mengingatkan kita bahwa para pendidik itu bukan hanya guru-guru di sekolah dan perguruan tinggi. Para ulama juga adalah para pendidik.
Bahkan jika kita cermati lebih jauh, para Tuan Guru itu justru memberikan pendidikan yang sangat fundamental, yakni menyangkut nilai-nilai mulia terkait makna dan tujuan hidup. Mereka memang tidak mengajar sains dan teknologi, tetapi membimbing manusia tentang untuk apa dia hidup, bagaimana menyikapi masalah-masalah dalam hidup dan ke mana kelak akan kembali setelah mati. Inilah yang sering dikatakan Guru Zuhdi: ilmu itu berfungsi untuk menyikapi masalah-masalah hidup dengan bijak. Inilah ilmu yang menjadi pelita dalam kehidupan.
Kunci pengajian adalah keikhlasan. Orang-orang datang ke pengajian bukan karena takut tidak mengisi daftar hadir atau tidak dapat menjawab pertanyaan dalam ujian. Orang-orang datang ke pengajian semata karena ingin mendapatkan ilmu sebagai petunjuk hidup.
Bukankah ini sangat liberal, tidak ada paksaan sama sekali? Alqur’an sendiri menegaskan, tidak ada paksaan dalam agama, sebab perilaku keagamaan yang dipaksakan akan melahirkan kemunafikan.