Dia menjelaskan, dalam Pasal 20 Undang-undang Nomor 42/1999 menyebutkan, mengenai obyeknya tetap berada dalam penguasaan pemilik benda atau debitur. Jadi, benda milik debitur yang dijaminkan secara fidusia tetap ada pada penguasaan pemilik benda atau debitur tersebut.
Sertifikat fidusia tersebut menjadi kekuatan kreditur apabila debitur cidera janji, maka menurut Pasal 15 ayat (3) UU Nomor 42/1999, penerima fidusia mempunyai hak untuk menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri.
Apabila debitur atau pemberi fidusia, setelah disepakati para pihak, dipandang cidera janji (wanprestasi), eksekusi terhadap objek jaminan fidusia dapat dilakukan dengan cara yang terdapat dalam Pasal 29 ayat (1) No. UU 42/1999 singkatnya yaitu:
- pelaksanaan titel eksekutorial;
- menjual atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum;
- penjualan di bawah tangan.
Namun hal tersebut sering menimbulkan adanya perbuatan paksaan dan kekerasan dari orang yang mengaku sebagai pihak yang mendapat kuasa untuk menagih pinjaman utang debitur. Bahkan dapat juga melahirkan perbuatan sewenang-wenang yang dilakukan oleh kreditur. Sehingga, hal ini jelas merupakan bukti adanya persoalan inkonstitusionalitas dalam norma yang diatur dalam UU No. 42/1999.
Oleh sebab itu Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan dengan Nomor Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 mengenai eksekusi Jaminan Fidusia tersebut.
“Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, dapat disimpulkan bahwa eksekusi jaminan fidusia dilakukan setelah adanya kesepakatan mengenai cidera janji dan kerelaan Debitur untuk menyerahkan benda yang menjadi objek fidusia,” beber Nadhiv.