WARTABANJAR.COM – Banyak yang meragukan kehalalan makanan laut kepiting, karena hidup di dua alam.
Pada fatwa Majelis Ulama Indonesia tahun 2002 tentang kepiting, ditampilkan ragam perdebatan ulama mengenai status hukum memakan kepiting.
Perbedaan pendapat itu sendiri, dikarenakan kepiting dianggap sebagai hewan yang hidup di dua habitat: darat dan laut atau air. Para ulama, berselisih dalam menyikapi hewan yang hidup di dua habitat ini.
Seperti pendapat Imam Abu Zakaria bin Syaraf al- Nawawi dalam Minhaj al-Thalibin, yang juga dikutip dalam fatwa MUI mengatakan:
وَمَا يَعِيشُ فِي بَر وَبَحْرٍ: كَضِفْدَعِ وسَرَطَانٍ وَحَيَّة حَرَامٌ.
“Hewan yang hidup di darat sekaligus di laut/air seperti kodok, kepiting, dan ular hukumnya haram (dikonsumsi).”
Baca Juga
Kemenkumham Buka Pendaftaran CPNS 1000 Kuota Penjaga Tahanan
Sedang ulama lain, seperti Ibnu Qudamah berpendapat:
كُلُّ مَا يَعِيْشُ فِي الْبَرِّ مِنْ دَوَابِّ الْبَحْرِ لَا يَحِلُّ بِغَيْرِ ذَكَاةٍ كَطَيْرِ الْمَاءِ وَالسُّلَحْفَاةِ وَكَلْبِ الْمَاءِ إِلَّا مَا لَا دَمَ فِيْهِ كَالسَّرَطَانِ فَإِنَّهُ يُبَاحُ بِغَيْرِ ذَكَاةٍ
“Setiap hewan yang hidup di daratan berupa binatang melata laut itu tidak halal, tanpa disembelih (terlebih dahulu), seperti burung laut, penyu, dan anjing laut. Kecuali binatang yang tidak memiliki darah, seperti kepiting, maka boleh dimakan tanpa disembelih. (Lihat selengkapnya Ibnu Qudamah, Al-Mughni, juz 9, hlm. 337).”
Sementara fatwa MUI tentang kepiting yang ditandatangani oleh Ketua Komisi Fatwa saat itu, yang merupakan Wakil Presiden RI saat ini, KH. Ma’ruf Amin, tidak hanya merujuk pada teks al-Quran, hadits-hadits dan literatur fikih klasik semata.