WARTABANJAR.COM, JAKARTA – Menyambut pembentukan Direktorat Jenderal Pesantren di Kementerian Agama (Kemenag), para ulama menyerukan standardisasi keilmuan pesantren tanpa mengabaikan kemandiriannya sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia.
Isu tersebut dibahas dalam Halaqah Pesantren Penguatan Kelembagaan Pendirian Direktorat Jenderal Pesantren yang digelar di UIN Antasari Banjarmasin.
“Tanpa kitab kuning, pesantren kehilangan identitas dan sumber legitimasi keilmuannya. Seluruh pemahaman fiqih, ibadah, dan hukum Islam bertumpu pada kitab-kitab tersebut,” ujar Pimpinan Madrasah Darussalam Tahfidz dan Ilmu Al Quran Martapura KH Wildan Salman dalam keterangan dikutip di Jakarta, Sabtu (15/11).
Ia menegaskan, bahwa keberadaan pesantren tidak dapat dilepaskan dari tradisi kitab kuning. Tradisi tersebut adalah pondasi yang menjaga kesinambungan ilmu Islam dari generasi ke generasi
Menurutnya, keempat mazhab besar yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali, bertahan hingga kini bukan semata karena pemikiran mereka, melainkan karena karya-karya ulama mereka terdokumentasi lengkap.
Wildan juga menyoroti pentingnya ijazah sanad, yaitu legitimasi guru kepada murid untuk meriwayatkan atau mengajar kitab tertentu. Konsep ini, menurutnya, identik dengan gagasan “sertifikasi keilmuan”. Karena itu, wacana sertifikasi guru pesantren tidak harus dianggap sebagai ancaman.
“Ulama sejak dulu memberi sertifikasi melalui ijazah. Jika standar disusun pesantren sendiri, sertifikasi justru akan menjaga kualitas, bukan menyingkirkan guru-guru pesantren. Standar kurikulum harus jelas, agar pesantren tidak kehilangan arah,” katanya.

