Ia menepis kekhawatiran bahwa gerakan boikot akan menyebabkan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.
Sebaliknya, ia menilai isu tersebut diembuskan oleh pihak-pihak yang kepentingannya terganggu oleh gerakan ini.
“Isu PHK massal diembuskan pihak-pihak yang sudah terbiasa menikmati keuntungan besar dari peredaran produk multinasional asing pro-Israel di Indonesia. Nah, boikot dalam setahun lebih terakhir bikin mereka merugi,” tegasnya.
Dari perspektif ekonomi, Wakil Ketua Umum Dewan Pakar PP Dewan Masjid Indonesia (DMI), Imam Addaruqutni, menjelaskan bahwa boikot ini membuka peluang bagi pengembangan sistem ekonomi berbasis kerakyatan di Indonesia.
Ia juga menekankan pentingnya konsistensi dan edukasi kepada masyarakat agar gerakan ini terus berjalan efektif.
Upaya edukasi ini juga dilakukan oleh Badan Musyawarah Islam Wanita Indonesia (BMIWI).
Ketua Presidium BMIWI, Lin Kandedes, menyatakan bahwa pihaknya telah melakukan sosialisasi masif mengenai Fatwa MUI Nomor 83 Tahun 2023 tentang dukungan terhadap perjuangan Palestina-yang juga berisi larangan mendukung Israel-kepada 35 organisasi anggota di tingkat provinsi hingga kabupaten/kota.
“Kami sosialisasikan ke ormas anggota dan ormas anggota juga masing-masing kepada anggotanya sampai ke tingkat bawah. Perempuan itu konsumen yang paling tinggi,” tandasnya.
Seperti diketahui, gerakan boikot produk-produk Israel semakin menjamur sejak sekitar Oktober 2023 ketika Israel kembali meluncurkan serangan membabi-buta ke Gaza, Palestina.
Aksi boikot juga tertuang dalam Fatwa MUI Nomor 83 Tahun 2023 tentang Hukum Dukungan Terhadap Perjuangan Palestina.
MUI meminta kepada pedagang di Indonesia agar tidak lagi menjual produk-produk yang mendukung Israel, termasuk kurma yang banyak dijual saat Ramadan. (wartabanjar.com/berbagai sumber)

