WARTABANJAR.COM, JAKARTA – Kepala Unit PPA Ditipidum Bareskrim Polri, AKBP Ema Rahmawati menyebut kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) menjadi kasus paling tinggi dari masyarakat yang masuk ke Polri. Kasus ini bahkan hampir setiap tahun angkanya meningkat.
“Ironisnya, banyak kasus KDRT berhenti di tengah jalan lantaran pelapor mencabut laporan,” kata Ema dalam Seminar Ikatan Keluarga Wartawan Indonesia (IKWI) yang mengusung tema “Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT)”, pada Hari Pers Nasional (HPN) di Putri Duyung, Ancol, Jakarta, Minggu (18/2/2024).
Menurut Ema, kasus KDRT ini berdampak pada kejiwaan yang tak jarang menyebabkan korban mengalami trauma.
Selain itu, KDRT terhadap perempuan ini banyak sekali bentuknya, misalnya Tindak Pidana Penjualan Orang (TPPO) dengan modus diiming-imingi pekerjaan di luar negeri dengan gaji besar.
“Namun pada kenyataannya tidak sesuai. Sehingga, perempuan tersebut menjadi korban eksploitasi seksual di tempat hiburan,” ujarnya.
Sementara, Ketua Umum Ikatan Keluarga Wartawan Indonesia (IKWI) Andi Dasmawati mengatakan, pendidikan rendah dan penghasilan yang terbatas bisa memicu terjadinya KDRT.
Selain itu, KDRT juga banyak terjadi pada pasangan rumah tangga yang usia pernikahannya masih terbilang muda.
Andi mengutip data tahun 2020, di mana angka kasus KDRT di Jawa Barat jumlahnya paling tinggi, yakni 2.738. Disusul Jawa Tengah 2.525 kasus, dan DKI Jakarta 2.222 kasus.
Di seluruh Indonesia tercatat sebanyak 4.783 atau 43 persen kasus KDRT berupa kekerasan fisik. Kemudian, 2.807 atau 25 persen kasus seksual, dan 2.056 atau 19 persen kasus kekerasan psikis.