Melakukan hukuman gantung terhadap seseorang yang difabel, seseorang yang secara mental tidak sehat karena dia dipaksa untuk membawa narkoba, hanya sekitar tiga sendok teh diamorphine tidak bisa dibenarkan dan merupakan pelanggaran hukum internasional yang sudah ditandatangani oleh Singapura.”
Nagaenthran dan ibunya sudah mengajukan mosi hari Senin mengatakan bahwa tindakan eksekusi merupakan hal yang melanggar konstitusi.
Selain itu, dia juga tidak mendapatkan pengadilan yang adil karena hakim ketua yang menangani perkaranya semasa banding adalah Jaksa Agung ketika dia dinyatakan bersalah di tahun 2010.
Pengadilan memutuskan bahwa mosi itu tidak bisa diterima dengan alasan hanya “mengada-ada.”Di akhir persidangan hari Selasa (26/4/2022), Nagaenthran dan keluarganya lewat sela-sela kaca di ruang pengadilan saling berpegangan tangan erat sambil menangis.
Terdengar suara Nagaenthran mengeluarkan kata “Ma” yang terdengar ke seluruh ruang pengadilan.
Sekitar 300 orang melakukan prosesi penyalaan lilin di sebuah taman di Singapura hari Senin (25/4/2022) malam sebagai aksi protes rencana hukuman mati ini.
Kasus Nagaenthran menarik perhatian internasional dengan sekelompok pakar PBB dan pengusaha terkenal Inggris Richard Branson bergabung dengan Perdana Menteri Malaysia dan pegiat HAM mendesak Singapura untuk menjadikan hukuman mati itu menjadi hukuman seumur hidup.
Perwakilan Uni Eropa juga menggunakan kasus ini untuk menyerukan dihentikannya pelaksanaan hukuman mati.
Singapura sudah menunda pelaksanaan hukuman mati selama dua tahun karena adanya pandemi COVID-19, sebelum kemudian memulai lagi eksekusi mati terhadap seorang pedagang narkoba bulan Maret lalu.