WARTABANJAR.COM – Jelang Ramadan yang masuk dalam hitungan hari, kaum muslim biasanya membayar hutang puasa.
Hutang puasa Ramadan dibayar dengan puasa. Namun bila tak mampu, maka membayar fidyah. Misalnya orang tua renta, orang sakit parah yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya.
Golongan ini juga tidak wajib meng-qadha di lain waktu. Sebagai gantinya, mereka harus membayar fidyah atau kafarat (denda).
Di era milenial yang serba praktis seperti sekarang, apakah boleh membayar fidyah dengan uang? Mengingat mayoritas ulama (jumhur ulama) baik dari kalangan Maliki, Syafi’i ataupun Hambali, tidak boleh menunaikan fidyah dalam bentuk uang.
Fidyah menurut pendapat mayoritas ini harus ditunaikan dalam bentuk makanan pokok daerah setempat. Pendapat ini berlandaskan pada nash-nash syariat yang secara tegas memang memerintahkan untuk memberi makan fakir miskin, bukan memberi uang. Syekh Wahbah az-Zuhaili dalam Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh (9/7156) menjelaskan:
“(Mengeluarkan) nominal (makanan) tidak mencukupi menurut mayoritas ulama di dalam kafarat, sebab mengamalkan nash-nash yang memerintahkan pemberian makanan.”
Seperti dalam takaran mazhab Syafi’i, fidyah yang wajib dikeluarkan adalah satu mud (675 gram/6,75 ons) per hari puasa yang ditinggalkan, berupa makanan pokok daerah setempat, dalam konteks Indonesia adalah beras.
Bila satu bulan penuh berarti 30 mud (20.250 gram atau 20,25 kilogram) beras. Fidyah tersebut diberikan kepada fakir miskin.
Lain lagi dengan pendapat ulama bermadzhab Hanafi. Menurut mereka, fidyah boleh dibayarkan dalam bentuk uang. Ulama Hanafiyah cenderung lebih longgar memahami teks-teks dalil agama yang mewajibkan pemberian makan kepada fakir miskin.