Berdasarkan catatan sejarah, tsunami Selat Sunda akibat gempa pernah terjadi pada 1722, 1852, dan 1958.
Tsunami tahun 416, 1883, 1928, 2018 berkaitan dengan erupsi Gunung Krakatau sedangkan tsunami pada 1851, 1883, dan 1889 dipicu oleh aktivitas longsoran.
“Gempa kuat dan tsunami adalah proses alam yang tidak dapat dihentikan, bahkan memprediksi kapan terjadinya pun juga belum bisa. Namun, dalam ketidakpastian kapan terjadinya itu, kita masih dapat menyiapkan upaya mitigasi konkret,” kata Daryono.
Mitigasi konkret antara lain membangun bangunan tahan gempa, memodelkan bahaya gempa dan tsunami, kemudian menjadikan model ini sebagai acuan mitigasi, seperti perencanaan wilayah berbasis risiko gempa dan tsunami.
Mitigasi yang diperlukan juga dan penting berupa penyiapan jalur evakuasi, memasang rambu evakuasi, membangun tempat evakuasi, berlatih evakuasi/drill secara berkala, termasuk edukasi evakuasi mandiri di samping itu BMKG juga akan terus meningkatkan performa peringatan dini tsunami lebih cepat dan akurat.
Gempa kemarin yang berkekuatan M 6,6, juga merupakan gempa di area megathrust.
Gempa kemarin termasuk gempa dangkal akibat patahan batuan Lempeng Indo-Australia yang menghunjam ke bawah Selat Sunda-Banten.
Itu adalah gempa ‘interslab earthquake‘, ciri-cirinya mampu meradiasikan guncangan (ground motion) yang lebih besar dan lebih kuat dari gempa sekelasnya dari sumber lain.
“Sehingga wajar jika gempa ini memiliki spektrum guncangan yang sangat luas, dirasakan hingga Sumatera Selatan dan Jawa Barat,” pungkas Daryono. (brs/berbagai sumber)