Selain itu, lanjut Ketua KPK, tersangka AW juga diduga menerima komitmen fee dari beberapa proyek lainnya melalui perantaraan beberapa pihak di Dinas PUPRP Kabupaten Hulu Sungai Utara, sebagai berikut: Tahun 2019 sejumlah sekitar Rp4,6 Miliar, Tahun 2020 sejumlah sekitar Rp12 Miliar, Tahun 2021 sejumlah sekitar Rp1,8 Miliar.
“Atas perbuatannya, Tersangka AW disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Jo. Pasal 64 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Jo. Pasal 65 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,” papar Firli.
Dijelaskannya, KPK kemudian melakukan penahanan terhadap AW untuk 20 hari pertama terhitung mulai tanggal 18 November 2021 s.d 7 Desember 2021 di Rutan KPK pada Gedung Merah Putih.
“KPK berharap seorang kepala daerah sebagai penyelenggara negara yang digaji dari uang rakyat dapat menjadi teladan baik dalam menciptakan tata kelola pemerintahan yang bersih, transparan, dan akuntable di wilayahnya,” tegas Firli.
“Bukan justru mengingkari amanah jabatannya untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan kelompoknya melalui praktik-praktik korupsi,” tegas Firli lagi.
Tindak pidana korupsi pada suatu proyek pembangunan, menurut Ketua KPK, mengakibatkan terdegradasinya kualitas hasil pengadaan barang dan jasa, sekaligus menghambat upaya pemerintah dalam pemulihan ekonomi nasional.