Oleh : Nadhiv Audah SH
WARTABANJAR.COM, BANJARBARU – Internet sudah menjadi kebutuhan pokok bagi masyarakat, apalagi disaat pandemi ini. Diberlakukannya pembatasan kegiatan masyarakat oleh pemerintah, setiap kegiatan mulai dari pekerjaan kantor, aktivitas mengajar dan belajar dan kegiatan sehari-hari secara online dan hal ini tidak lepas dari penggunaan internet.
Internet melalui layanan jaringan dan jasa telekomunikasi kian beragam dan semakin kompleks serta melibatkan banyak pihak didalam penyediaan jaringan telekomunikasi sebelum jasa dan jaringan itu dipergunakan oleh pengguna.
Adanya kerusakan atau gangguan dalam jaringan yang disebabkan oleh beberapa hal, dapat menimbulkan kerugian bagi konsumen sebagai penggunanya.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU 8/1999) menjelaskan perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
Keberadaan Undang-undang No 8 tahun 1999 ini menunjukkan bahwa Pemerintah memberikan perhatian yang serius terhadap perlindungan konsumen, walaupun masih turut serta memerhatikan kepentingan pelaku usaha, dengan adanya Undang-undang No 8/1999 ini hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen dapat terjalin dengan baik.
Memang sebelum konsumen menggunakan barang atau jasa dari pelaku usaha, kedua belah pihak melakukan perjanjian atau kontrak terlebih dahulu. Kontrak tersebut dalam Undang-undang No 8 tahun 1999 itu disebut klausula baku, yang dijelaskan dalam Pasal 1 angka 10 yaitu setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
Konsumen yang menyetujui perjanjian berarti ia sudah tahu mengenai segala sesuatu risiko yang akan ditanggungnya. Tujuan dibuatnya perjanjian baku tidak lain adalah untuk memberikan kemudahan bagi para pihak yang bersangkutan.