“Dari sisi nominal memang belum besar karena kami baru memulai ekspansi setelah rights issue II pada April 2021. Namun demikian, kami tetap bersyukur, selama pandemi, kami masih bisa mengoptimalkan fungsi intermediasi dengan tetap menjaga prinsip kehati hatian,” ujarnya.
Prinsip hati-hati dalam penyaluran kredit tercermin dari rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) di level nol persen. Dengan NPL sangat rendah, Bank Jago tidak perlu membentuk pencadangan dalam jumlah besar sehingga mampu menekan biaya kredit (cost of credit).
Pertumbuhan kredit mengerek pendapatan bunga sebesar 289 persen (yoy). Dengan beban bunga yang hanya meningkat 46 persen, perseroan mampu membukukan kenaikan pendapatan bunga bersih sebesar 423 persen menjadi Rp139 miliar.
Hal itu berdampak pada penurunan rasio cost to income dari 289 persen pada Semester I 2020 menjadi 129 persen pada Semester I 2021. Kondisi itu turut mendongkrak rasio net interest margin (NIM) dari 4,1 persen menjadi 5 persen pada kurun yang sama.
Sebagai bank teknologi yang tengah berkembang, perseroan terus mengalokasikan belanja modal untuk investasi IT, pengembangan aplikasi dan rekruitmen talenta baru. Hal tersebut membuat biaya operasional (operating expense) meningkat 135 persen menjadi Rp183 miliar. Kenaikan biaya operasional itu berdampak ke perolehan laba periode semester I-2021 yang masih membukukan rugi bersih.
Dari sisi aset, terdapat kenaikan yang signifikan sebesar 491 persen dari Rp1,7 triliun menjadi Rp10 triliun. Adapun ekuitas meningkat 538 persen dari Rp1,3 triliun menjadi Rp8,1 triliun. Dari sisi perolehan dana pihak ketiga (DPK) juga mengalami pertumbuhan 326 persen menjadi Rp1,73 triliun.